Kamis, 10 Juli 2014

Perang Topat simbol kebersamaan Umat Islam dan Hindu Di Lombok



PERANG  biasanya identik dengan kebencian, darah, dan kematian. Tapi “Perang Topat” di Lombok, Nusa Tenggara Barat, justru menjadi simbol persaudaran dan kebersamaan  antar umat Islam dan Hindu di sana. Suara teriakan, sorak-sorai, memenuhi pelataran depan di Kompleks Pura Lingsar, Lombok Barat, Sabtu sore (10/12). Ratusan orang tua-muda,  pria-wanita, dan bahkan anak-anak terbagi menjadi dua posisi. Sebagian di halaman Pura Gaduh, tempat persembahyangan umat Hindu, dan sebagian  lagi di halaman depan bangunan Kemaliq, yang disakralkan sebagian masyarakat muslim Sasak.

Setelah aba-aba perang dimulai, dua kelompok itu pun mulai saling lempar. Suasana makin hiruk-pikuk, mereka berlarian menghindari lemparan lawan,  lalu megambil posisi untuk kembali melempar lawan.Perang biasanya identik dengan kemarahan dan kekerasan berupa bentrok fisik antara dua pihak yang bersengketa. Tapi perang topat di Lombok yang  melibatkan ratusan masyarakat berbeda agama ini, justru jauh dari kesan seram dan penuh kebencian.
Sebaliknya, tradisi yang dilaksanakan turun temurun selama ratusan tahun di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, itu justru memperkokoh  kerukunan antara umat Muslim dan umat Hindu di sana .





Perang dimulai sejak pukul 17.00 Wita, atau disebut rarak kembang waru (Waktunya gugur daun pohon waru di sore hari). Masyarakat percaya  ketupat yang digunakan untuk saling lempar bisa membawa berkah.
Usai perang, mereka akan berebutan membawa pulang ketupat sisa perang, untuk ditaburkan di sawah bagi para petani agar subur, bisa juga ditaruh  di tempat dagangan bagi para pedagang agar laris.“Sejak leluhur, turun temurun selalu melaksanakan tradisi ini. Biasanya habis panen raya, sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan dan juga berharap  agar musim tanam ini mendapat kesuburan. Ini juga mempererat hubungan sosial dengan teman Hindu,” kata Sahyan (36), warga Desa Lingsar yang  juga sebagai pengurus di bangunan Kemaliq.
Setiap tahun masyarakat Desa Lingsar melaksanakan perang topat di kompleks Pura Lingsar, sebuah Pura yang dibangun pada tahun 1759 pada  zaman Raja Anak Agung Gede Ngurah, keturunan Raja Karangasem Bali yang sempat berkuasa di sebagian pulau Lombok pada abad ke 17 silam. Pura Lingsar terletak sekitar 9 Km arah Timur dari Kota Mataram, dan bisa dibilang bangunan Pura paling unik se-nusantara. Sebab, di dalam kompleks  Pura Lingsar terdapat dua bangunan besar yakni Pura Gaduh sebagai tempat persembahyangan umat Hindu, dan bangunan Kemaliq yang disakralkan  sebagian umat muslim Sasak dan masih digunakan untuk upacara-upacara ritual adat hingga kini.

Dua bangunan itu dibangun dengan arsitektur Bali , berdiri berdampingan tanpa jarak. Di depannya ada dua jabe atau pelataran halaman. Karena  keunikannya sejak 1990-an komplek Pura Lingsar ditetapkan sebagai benda cagar budaya.
Masyarakat Desa Lingsar selalu menggelar ritual perang topat pada hari ke 15 bulan ke tujuh pada penanggalan Sasak Lombok, yang disebut purnama  sasih kepitu (Purnama bulan ketujuh), atau hari ke 15 bulan ke enam pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut purnama sasi kenem (Purnama bulan  keenam). Itu tepat pada malam bulan Purnama, yang tahun ini jatuh pada hari Sabtu, 10 Desember 2011. Pada malam Purnama itu, umat Hindu merayakan odalan atau ulang tahun Pura Lingsar, dengan melaksanakan upacara Pujawali. Sedangkan umat  muslim melaksanakan napak tilas memperingati jasa Raden Mas Sumilir, seorang penyiar agama Islam dari Demak, Jawa Tengah, yang menyiarkan  Islam di Lombok pada abad 15.
Sejak siang masyarakat mulai berdatangan ke kompleks Pura Lingsar. Di Pura Gaduh, umat Hindu dipimpin pemangku Pura menyiapkan banten atau  sesaji untuk persembahyangan Pujawali, sedangkan di Kemaliq umat Muslim Sasak dipimpin pengelola Kemaliq menyiapkan Kebon Odek (Bumi Kecil)  yang juga sesaji berupa buah-buahan dan hasil bumi.
Persiapan yang tak mungkin tertinggal, tentu saja topat atau ketupat, nasi yang ditanak dengan bungkus anyaman janur kelapa sebesar tinju orang  dewasa. Topat-topat itu disiapkan warga dari masing-masing dusun di Desa Lingsar, baik dusun yang berpenghuni umat Hindu maupun dusun yang  dihuni umat Muslim. Sesaji yang sudah siap kemudian diarak mengelilingi bangunan Kemaliq dengan iring-iringan alat musik tradisional. Sementara proses iring-iringan berjalan, ribuan masyarakat setempat dan pengunjung yang datang menunggu di halaman Kemaliq, menunggu topat  dibagikan dan siap saling lempar. Topat yang sudah melewati prosesi kemudian dibagikan kepada masyarakat, sekejab perang pun dimulai, penuh kegembiraan. Tahun ini, selain pengujung lokal, banyak juga wisatawan domestik dan mancanegara yang nampak datang ingin  menyaksikan langsung perang topat itu. “Mungkin hanya di Lingsar ini bisa ditemukan pelaksanaan acara besar umat Hindu dan umat Muslim, yang dilakukan pada waktu dan tempat  bersamaan. 





Umat Hindu melakukan upacara Pujawali di Pura Gaduh untuk menghormati Batara Gunung Rinjani, Batara Gunung Agung, dan Batara Lingsar, yang  merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan umat muslim melakukan napak tilas mengenang jasa penyiar Islam, Raden Sumilir yang  dipercaya merupakan penyiar Islam dari Demak, pulau Jawa.
Tradisi perang topat yang sudah lima belas tahun terakhir menjadi event pariwisata NTB, tahun ini dibuka secara seremonial oleh Bupati Lombok  Barat, Zaini Arony, dan Wakil Bupati H Mahrip, dengan melemparkan topat pertama ke arah kerumunan masyarakat di halaman Kemaliq.
“Ini satu-satunya perang di dunia yang dilakukan tanpa kebencian, perang tanpa korban jiwa, dan perang sebagai simbol persaudaraan dan toleransi,”  kata Bupati Zaini dalam sambutannya. Ia mengatakan, Lombok Barat yang berpenghuni multietnis menjadi salah satu destinasi yang nyaman dan  penuh daya tarik bagi wisatawan.
“Seperti juga di India yang mayoritas Hindu ada Tajmahal peninggalan Muslim, begitu juga di Indonesia yang mayoritas muslim ada Borobudur dan  candi-candi, tidak ada alasan tidak harmonis. Inilah kekayaan budaya, the colours of culture,” katanya.
Usai perang topat, umat Hindu melaksanakan upacara Pujawali di Pura Gaduh, biasanya disertai makemit atau menjalani perenungan dengan menginap  di Pura selama tiga malam. Hal yang sama dilakukan umat Muslim Sasak di Kemaliq.
Selama tiga hari itu pula, di sekitar kompleks Pura Lingsar ramai pedagang kaki lima , mulai menjakakan makanan hingga mainan anak-anak.  Pengunjungnya pun bukan hanya masyarakat yang melaksanakan ritual, tetapi juga masyarakat umum dari Lombok Barat dan Kota Mataram yang  berekreasi bersama keluarganya ke sana .




Inti perang topat memang hanya berlangsung kurang dari satu jam. Namun seluruh rangkaian prosesi ritualnya sudah berlangsung dua hari sebelum  perang topat, dan benar-benar menggambarkan toleransi beragama antara umat Hindu dan Muslim di sana .
Sehari sebelum puncak perang topat, masyarakat Lingsar melaksanakan prosesi Ngeliningan Kaok atau mengarak dua ekor Kerbau mengelilingi  kompleks Pura Lingsar. Kerbau itu masing-masing disediakan oleh masyarakat umat Hindu dan umat Muslim, kemudian disembelih untuk persembahan  dan dagingnya diolah dan dimakan bersama-sama.“Ini simbol toleransi. Bagi umat Hindu ternak Sapi itu suci, sedangkan bagi umat Muslim haram memakan Babi, sehingga jalan tengahnya kita gunakan  Kerbau. Makanya di Pura Lingsar ini tidak boleh membawa persembahan dari daging Sapi atau Babi.. hanya boleh unggas

Secara turun-temurun, masyarakat Lingsar percaya mata air itu berasal dari bekas tancapan tongkat Raden Mas Sumilir, penyiar Islam di Lombok  abad ke 15. Hingga kini mata air Langser (Langser merupakan asal nama Lingsar), mampu mengairi pertanian bukan hanya di Lingsar saja tetapi juga  hingga ke sebagian wilayah Lombok Tengah. Petani di Lingsar bahkan bisa menanam dan menanen padi hingga tiga musim dalam setahun.Tradisi Perang Topat yang menjadi event pariwisata daerah selalu menjadi perhatian wisatawan domestik dan mancanegara dari tahun ke tahun. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar